Guys, sekarang gue posting cerpen (lagi). Cerpen tentang cinta, cinta segitiga, bahkan cerpen keluarga. Langsung aja ya gue persembahkan (abisnya bingung mau bilang apa lagi) cerpen yang berjudul AYAH ATAU PACAR. Silakan :D
AYAH ATAU PACAR
AYAH ATAU PACAR
Oleh
: Kartika
Nama
gue Tyas, tahun ini usia gue 23 tahun. Gue kuliah jurusan hukum semester 7.
Tadi waktu di kampus, dosen ngasih tugas ke kami untuk membuat sebuah makalah
tentang sebuah kasus serta cara menyelesaikannya secara hukum. Kami juga
diperintahkan melakukan wawancara langsung dengan pengacara untuk membuat
makalah itu. Gue bingug mau cari pengacara yang mau diwawancara. Teman-teman
gue sih ada yang beri beberapa nomor hp pengacara, entar gue coba telfon deh.
“Halo,
selamat siang. Benar dengan Bapak Aji Santoso?” Ucap gue dengan berani.
“Iya
benar. Ini dengan siapa?”
“Maaf
Pak kalau saya mengganggu, saya Candraningtyas Pramudita dari fakultas hukum
Universitas Indonesia. Apakah boleh saya mewawancarai Bapak sebagai narasumber
saya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen kepada kami?” Jelas gue panjang lebar.
“Ooh
iya, iya. Hmm, memang tugasnya seperti apa?”
“Begini
Pak, kami diberi tugas untuk mewawancarai seorang pengacara tentang sebuah
kasus serta bagaimana cara menyelesaikannya berdasarkan hukum. Nanti hasil
wawancara itu akan dibuat menjadi sebuah makalah. Apakah Bapak bersedia?”
Panjang
lebar gue jelasin terus secara lemah lembut pula berharap Si Bapak bersedia
menjadi narasumber gue untuk menyelesaikan tugas makalah. Eh, ternyata malah
nggak mau. Gue kira tu Bapak mau-mau aja jadi narasumber gue. Katanya sih
beberapa hari lagi beliau mau ke luar negeri untuk beberapa saat. Jadi, nggak
bisa deh. Untungnya teman gue ngasih nomor hp pengacara lebih dari satu. Jadi
gue nggak masalah lah Bapak itu tadi nolak gue.
Hampir
satu jam gue megagin hp buat nelfonin satu-satu pengacara. Sampai-sampai batterynya
sisa 20 % terus hpnya panas banget lagi. Untung gue udah beli paket hemat
nelfon ke semua operator, jadi bisa sepuasnya deh membujuk para pengacara buat
diwawancarai.
Akhirnya
setelah beberapa nomor gue hubungi, ada juga yang mau jadi narasumber gue.
Sebenarnya ada sih yang mau sebelumnya, tapi guenya yang nggak mau. Nggak tau
kenapa. Setelah lama berbincang-bincang lewat telfon, akhirnya ada keputusannya
juga. Dia bersedia jadi narasumber gue dan esok kita bakal ketemuan.
Beberapa
saat setelah gue selesai nelfonin para pengacara, nyokap gue masuk ke kamar
dengan raut wajah yang nggak bisa gue tebak. Mami langsung duduk di samping
gue, ngobrol-ngobrol, manis-manisin gue, akhirnya baru deh ke intinya. Emangnya
gue anak kecil dimanja-manjain segala.
“Papi
kamu kan udah meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu dan kamu kan udah dewasa,
bentar lagi pasti mau menikah. Terus, nanti setelah menikah pasti kamu tinggal
dengan suamimu. Dan Mami tinggal sendirian di rumah ini.”
Udah gue duga, pasti Mami datang ke kamar
karena ada maunya. Mami mau married lagi. Gue bingung mau berekspresi
gimana.
****
Oke,
siang ini gue mau ketemuan sama Pak Akram. Dia seorang pengacara muda yang gue
telfon kemaren. Walaupun muda, dia udah S2 sarjna hukum lulusan Universitas di
Singapura. WOW. Dia juga udah pernah menyelesaikan beberapa kasus yang rumit.
Oiya, dia pengacara yang setuju jadi narasumber gue dari beberapa nomor hp
pengacara yang dikasih teman-teman gue. Setelah bincang-bincang, akhirnya klop
juga sama sebuah kasus yang akan gue jadiin bahan buat bikin makalah.
Kebetulan saat ini dia lagi menyelesaiakan kasus itu. Pas banget.
Udah
hampir satu miggu gue mewawancarai Pak Akram, dan kasusnya pun sebentar lagi
selesai. Kami diberi waktu buat bikin makalah selama dua minggu. Jadi, sisa
satu minggu lebih beberapa hari lagi buat gue bikin makalahnya.
Seiring
dengan berjalannya waktu, hubungan gue dengan Pak Akram semakin dekat saja.
Bahkan Pak Akram sering nelfon gue di luar tentang wawancara itu. Gue juga jadi
sering curhat sama dia. Baru-baru ini gue curhat tentang pacar gue yang mutusin
gue dengan alasan katanya dia dipaksa sama orang tuanya buat menikah tahun ini
juga. Berhubung gue belum mau menikah dalam waktu dekat, jadi dia terpaksa
mutusin gue dan menikah dengan cewek pilihan orang tuanya yang sudah pasti siap
menikah. Pak Akram juga pernah cerita atau curhatlah ya, tentang hubungannya
bersama sang kekasih dan sudah membicarakan tentang pernikahan. Katanya sih
setelah kasus yang dia tangani sekarang selesai, dia bakal serius membahas
rencana pernikahannya.
****
Entah
kenapa ketika Pak Akram cerita tentang rencana pernikahannya, gue rada-rada
sedih gitu. Gue bingung, seharusnya gue ikut senang dong. Rasa yang gue rasain
saat ini udah nggak asing lagi. Gue pernah merasakan perasaan kayak gini
sekitar beberapa hari yang lalu. Waktu gue putus sama pacar gue. Rasa sakit
yang rasain waktu itu mirip dengan apa yang gue rasain saat ini. Waktu itu
wajar kan kalo gue sakit hati karena orang yang gue sayangi menikah dengan
orang lain. Tapi sekarang jelas-jelas Pak Akram itu bukan siapa-siapa gue,
kenapa rasanya sakit ya?
“Lalala....”
¯¯)
“Halo
ada apa Pak?”
Tiba-tiba
Pak Akram nelfon gue, cara ngomongnya juga beda. Biasanya dia ngomong formal
sama gue, bahkan waktu dia curhat pun pakai bahasa formal.
“Tyas,
maaf kalo aku ganggu kamu sekarang. Sebenarnya aku mau cerita sama kamu. Entah
kenapa, cerita sama kamu itu rasanya beda, nyambung gitu. Mungkin karena kita
sama-sama ngerti hukum.” Ucap Pak Akram yang membuat gue melongo.
Dia
cerita tentang rencana pernikahannya (lagi). Rencananya besok dia mau melamar
orang yang dia sayangi. Dia juga bilang akhir-akhir ini dia nggak terlalu
bersemangat lagi dengan rencana pernikahannya. Katanya akhir-akhir ini mereka
nggak pernah ketemu karena kesibukan masing-masing, paling cuma chatting
atau telfonan doang. Terus, katanya saat ini hatinya bingung antara dua
pilihan. Ada orang lain yang memasuki hatinya selain sang kekasih. Tapi dia
nggak tau siapa oarang itu.
****
Yee,
akhirnya kasus yang ditangani Pak Akram selesai. Kenapa gue senang? Iyalah, itu
berarti wawancara gue juga selesai. Hmm, kemaren Mami bilang hari ini Mami mau
ngajak kekasihnya datang ke rumah. Gue penasaran, gimana sih orangnya calon
Papa tiri gue.
“Ting-tong”
%¯
Ada
suara bel, kayaknya itu kekasihnya Mami deh. Segera setelah bel berbunyi, gue
langsung pergi ke ruang tamu. Ketika gue tiba, pandangan gue langsung tertuju
pada punggung seseorang yang tak lain adalah kekasih Mami bersama orang tuanya
yang lagi duduk berhadapan ke arah Mami dan Om gue. Lalu, Mami langsung
memperkenalkan sang kekasih dan lelaki itu berdiri berpaling ke hadapan gue.
Setelah gue liat mukanya, ternyata dia orang yang nggak asing lagi buat gue.
“Tyas,
kenalin ini calon suami Mami. Bariq Akram Fausta. Dia seorang pengacara.”
“......”
(blekk).
Entah
kenapa dada gue rasanya nyesek setelah gue lihat mukanya dan mendengar
penjelasan Mami.
“Jadi,
pacarnya Pak Akram itu Mami?” Gue melihat ke arah Pak Akram, seakan pertanyaan
itu tertuju untuknya.
“Tyas,
jadi kamu anaknya Kak Sipa?”
Sipa
itu nama Mami gue, nama lengkapnya Sipawati Chandra. Mungkin Pak Akram manggil
Mami dengan sebutan Kak. Wajarlah beda usia mereka 15 tahun. Setelah lumayan
lama diam dalam keheningan, akhirnya Pak Akram angkat bicara. Ternyata dia
mengejutkan kami semua dengan bilang ke orang tuanya kalo gue yang mau dilamar.
Sontak gue langsung kaget menganga. Yang nggak kalah kaget dari gue yaitu Mami,
secara beliau kan kekasihnya Pak Akram, tapi kenapa anaknya yang dilamar.
Padahal gue sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Akram. Apa yang
dimaksud orang lain di hatinya itu gue? Setelah Pak Akram memperkenalkan gue
dan Mami, orang tuanya kelihatan senang-senang aja. Sedangkan Mami, raut
mukanya susah buat ditebak gimana perasaan beliau saat ini.
“Tante,
niat saya datang ke sini untuk melamar putri tante, Tyas. Apakah lamaran saya
tante terima?”
Gue
dan Mami sama-sama kaget mendengar kata-kata Pak Akram. Baru beberapa menit
yang lalu dia bilang Kak ke Mami, sekarang tau-tau dia bilang tante. Setelah
beberapa saat Mami terdiam, lalu menarik nafas dan bilang kalo Mami menyetujui
Pak Akram melamar gue.
“Kalo
tante sih setuju-setuju aja, tapi kan yang dilamar anak tante. Jadi semua
keputusan tante serahkan ke anak tante. Tyas, gimana apakah kamu terima lamaran
Akram?”
Untuk
sesaat gue terdiam, kenapa tiba-tiba Mami berubah banget. Dan kenapa Mami
bilang kayak gitu, apakah cuma sandiwara atau gimana? Gue bingung mau jawab
apa, yaudah gue jawab seadanya aja kalo gue harus mikir-mikir dulu selama
beberapa waktu. Setelah Pak Akram dan orang tuanya pulang, gue langsung nanya
ke Mami tentang apa yang tadi beliau lakukan maksudnya apa. Mami cuma bilang
kalo beliau merasa udah nggak pantas lagi buat married, apalagi usia
Mami jauh lebih tua dari Pak Akram. Beliau juga bilang kalo akhir-akhir ini
perasaannya ke Pak Akram sudah hilang, kayaknya Pak Akram juga demikian.
Kemaren
aja terakhir kali mereka membicarakan tentang pernikahan, kata Mami Pak Akram
beda dari biasanya dibandingkan satu bulan yang lalu. Mami bilang beliau udah
nggak ada rasa lagi sama Pak Akram semenjak terakhir-terakhir ini. Kayaknya Pak
Akram juga sama, mungkin itu sebabnya kenapa Pak Akram berubah.
“Nak,
Mami sadar akhir-akhir ini Akram menyukai orang lain. Dan ternyata orang itu
kamu. Mami sadar kalo Mami emang nggak cocok sama Akram. Dia jauh lebih muda
dari Mami, dia lebih cocok jadi pacarmu ketimbang jadi Ayahmu. Hmm, Mami
merestui hubungan kalian berdua.”
Gue
kaget dengar perkataan Mami kayak gitu. Sedikit pun nggak ada rasa marah atau
kesal dari nada bicara Mami. Gue bingung harus bersikap gimana, jujur gue
berasa jadi anak durhaka kalo gue terima lamaran Pak Akram.
****
Hari
ini makalah yang gue buat dengan penuh cerita, dikumpul juga. Dosen gue bilang
katanya kasus yang gue jadikan sebagai makalah itu bagus. Tugas gue dapat nilai
A J.
Ketika hendak pulang, ada punggung seseorang yang nggak asing lagi buat gue.
Pak Akram. Lagi menunggu di depan gerbang kampus. Dia ngajak gue ngomong
serius, kalo Pak Akram emang suka sama gue semenjak kita terlibat sebuah
pekerjaan (membuat makalah). Dia juga ngelamar gue lagi di antara orang-orang
yang lalu-lalang dan beberapa di antaranya memperhatikan kami.
Lumayan
lama gue mikir, dan akhirnya kata-kata yang gue ucapakan melalui mulut gue
intinya ‘iya’. Kemaren-kemaren Mami juga bilang ke gue mending terima aja
lamaran Pak Akram. Sebenarnya yang buat gue bingung itu bukan karena gue nggak
suka sama Pak Akram, gue akui kalo gue emang suka sama dia semenjak gue ada urusan
sama Pak Akram. Masalahnya gue merasa nggak enak banget sama Mami karena orang
yang hampir jadi Ayah tiri gue malah melamar calon anak tirinya. Walaupun Mami
berkali-kali bilang kalo beliau udah nggak ada rasa lagi sama Pak Akram dan
merestui hubungan gue.
****
Satu
minggu berlalu. Esok gue sama Pak Akram mau tunangan. Dalam satu minggu banyak
banget perubahan yang terjadi, gue jadi makin akrab dan dekat sama dia.
Rencananya tahun depan setelah wisuda, gue bakal married sama Pak Akram.
“Kemaren-kemaren
aku nggak pernah bilang secara langsung perasaanku. Sebelum kita tunangan, aku
akan ungkapkan semua. Tyas, awalnya aku emang nggak ada rasa apa pun sama kamu.
Tapi semenjak kita terlibat kerjaan bersama, rasa suka itu perlahan mulai
muncul. Perlu kamu tahu beberapa minggu sebelum kita ketemu, rasaku kepada Mami
kamu udah pudar. Karena emang kita udah jarang ketemu. Tyas, saat ini, aku,
Bariq Akram Fausta benar-benar menyukaimu, Candraningtyas Pramudita. Tulus,
tulus dari hati dan secara hukum, nggak ada paksaan, ancaman, atau tekanan.”
TAMAT
Silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar atau pilih reaksi Anda setelah membaca cerpen di atas. Terima kasih :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih sdh berkunjung di blog saya😊
BalasHapus